ENDGAM3: Blueprint for Global Enslavement

Marley And Me

New World Order' Emerging At G-20 Summit

Crank:High Voltage

Fall of the Republic

WATCHMEN - The Movie

Illuminati : They All Around Us

Bedtime Stories
Latest News

Kritik Arsitektur dengan METODE FOTO

Posted by Welcome To My Blogger on , under | komentar (0)







Kritik Arsitektur dengan metode fotografi , gedung " WISMA BNI 46 "

Kemajuan-kemajuan dalam bidang teknologi bangunan, ditambah dengan penemuan-penemuan dalam ilmu konstruksi dan struktur, sering menghasilkan bentuk-bentuk struktur yang cantik yang sangat mengagumkan. Biasanya unsur estetika sebuah bangunan muncul dari sosok, olahan tampak atau elemen bangunan, namun sekarang jika sebuah bangunan menerapkan struktur cantik, maka struktur tersebut dengan sendirinya sudah merupakan elemen estetika yang tampil secara dominan di dalam wajah bangunan. Suatu struktur cantik dalam skala besar bisa dilihat pada gedung bertingkat tinggi. Banyak gedung bertingkat tinggi yang menggunakan struktur bangunan menjadi sebuah elemen estetika. Contohnya, sekarang banyak kita jumpai bangunan-bangunan yang melakukan rias wajahnya dengan pemanfatan konstruksi cadar, yaitu elemen-elemen tampak bangunan yang berupa sunscreen/tabir matahari, atau konstruksi ringan penutup wajah bangunan, dan bisa disebut juga panil-panil luar yang menyelimuti badan bangunan yang bersangkutan.


Wisma BNI 46

Konstruksi-konstruksi tabir matahari atau sejenisnya , seringkali dirancang menjadi bagian dari tampak bangunan, dan adakalanya pula konstruksi tabir mathari ini sekaligus dipasang pada seluruh wajah bangunan yang bersangkutan sehingga menjadi eleman tampak yang sangat dominan. Sebagai contoh, Gedung Wisma BNI 46 Jakarta, bagian atas gedung ini memakai cadar berupa dinding kaca, sedangkan bagian bawahnya memakai cadar berupa jalur-jalur aluminium berbentuk bidang lengkung yang menutupi pembukaan-pembukaan jendelanya. Mungkin cadar ini dimanfaatkan sebagi elemen security bagi ruangan dalam yang berada dibaliknya, selain pemanfaatanya sebagai cadar terhadap sinar matahari yang berlebihan yang masuk ke dalam ruang interior tersebut.



Gedung Wisma BNI 46 ini adalah bangunan bertingkat tinggi, merupakan pencakar langit yang terlihat anggun dan kokoh dengan tinggi 250 m (hingga atap) berada di kompleks kota BNI, Jakarta Pusat. Menara perkantoran yang menjulang tinggi ini dirancang oleh Zeidler Roberts Patnership. Untuk menampilkan ekspresi gedung Wima 46 ini, sang arsitek mengambil konsep dari logo BNI itu sendiri yaitu sebuah perahu yang menantang ombak di lautan dan teryata dari ide itulah tercipta bentuk bangunan yang mencengangkan di Jakarta. Layar perahu dalam logo tersebut ditransformasikan menjadi bangunan menara yang mempesona. Bagian dasarnya diapit oleh dinding raksasa yang melengkung berupa cadar jalur-jalur alauminium, sedangkan bagian dalamnya berlapis kaca menerus menjulang menggapai langit.

Kritik Arsitektur dengan METODE SKETSA

Posted by Welcome To My Blogger on , under | komentar (0)





Memahami Metode kritik arsitektur dengan sketsa harus dilihat dari asal mula gambaran itu sendiri , sebelum melihatnya kita harus terlebih dahulu tentang sketsa arsitektur yang digunakan berikut adalah pemahamannya :

Sketsa menunjukkan suatu gambaran awal dari suatu bangunan atau arsitektur yang sifatnya private dan public.

Didalam arsitektur, sketsa adalah penumpahan semua ilham dan ide dari seorang arsitek dalam menggambarkan imajinasinya. Akan tetapi tidak cukup hanya sampai sketsa saja, karena perlu dikembangkan lagi dengan apa yang dinamakan Rencana dan Rancangan (Plan dan Design). Arsitektur Karo seharusnya juga punya dinamika yang progresif, tidak berhenti atau mandeg. Ini ditunjukkan dengan makin banyaknya bangunan yang bernuansa; Karo, akan tetapi itu tidaklah cukup karena ternyata banyak bangunan yang bertype Karo tersebut hanya bentuk luarnya saja (Form) akan tetapi Ruang (Space) nya tidak sesuai sama sekali.

Metode Sketsa Museum Fatahillah Jakarta :


Sketsa Arsitektur Bangunan
Museum Fatahillah


Kritik Arsitektur dengan METODE DESKRIPTIF

Posted by Welcome To My Blogger on , under | komentar (0)



Memahami Kritik Arsitektur yang menggunakan Metode Deskriptif pada Museum Fatahillah yang ada di Jakarta. Namun harus dapat memahami dari arti kata deskriptif itu sendiri yang mempunyai arti sebagai berikut :

"Deskripsi adalah upaya pengolahan data menjadi sesuatu yang dapat diutarakan secara jelas dan tepat dengan tujuan agar dapat dimengerti oleh orang yang tidak langsung mengalaminya sendiri"

Kritik Arsitektur yang menggunakan Metode Deskriptif pada Museum Fatahillah

Museum Fatahillah yang juga dikenal sebagai Museum Sejarah Jakarta atau Museum Batavia adalah sebuah museum yang terletak di Jalan Tama
n Fatahillah No. 2, Jakarta Barat dengan luas lebih dari 1.300 meter persegi.


Museum Fatahillah

Gedung ini dulu adalah sebuah Balai Kota (bahasa Belanda: Stadhuis) yang dibangun pada tahun 1707-1710 atas perintah Gubernur JendralJohan van Hoorn. Bangunan itu menyerupai Istana Dam di Amsterdam, terdiri atas bangunan utama dengan dua sayap di bagian timur dan barat serta bangunan sanding yang digunakan sebagai kantor, ruang pengadilan, dan ruang-ruang bawah tanah yang dipakai sebagai penjara. Pada tanggal 30 Maret 1974, gedung ini kemudian diresmikan sebagai Museum Fatahillah.


Jika Dilihat dari Segi Aspek Arsitektur

  • Arsitektur bangunannya bergaya abad ke-17 bergaya Barok klasik dengan tiga lantai dengan cat kuning tanah, kusen pintu dan jendela dari kayu jati berwarna hijau tua. Bagian atap utama memiliki penunjuk arah mata angin.
  • Museum ini memiliki luas lebih dari 1.300 meter persegi. Pekarangan dengan susunan konblok, dan sebuah kolam dihiasi beberapa pohon tua.

Ruang Pengadilan
Museum Fatahillah

Nah Sekarang Jika dilihat dari Sejarah

Pada tahun 1937, Yayasan Oud Batavia mengajukan rencana untuk mendirikan sebuah museum mengenai sejarah Batavia, yayasan tersebut kemudian membeli gudang perusahaan Geo Wehry & Co yang terletak di sebelah timur Kali Besar tepatnya di Jl. Pintu Besar Utara No. 27 (kini museum Wayang) dan membangunnya kembali sebagai Museum Oud Batavia. Museum Batavia Lama ini dibuka untuk umum pada tahun 1939.

Pada masa kemerdekaan museum ini berubah menjadi Museum Djakarta Lama di bawah naungan LKI (Lembaga Kebudayaan Indonesia) dan selanjutnya pada tahun 1968 ‘’Museum Djakarta Lama'’ diserahkan kepada PEMDA DKI Jakarta. Gubernur DKI Jakarta pada saat itu, Ali Sadikin, kemudian meresmikan gedung ini menjadi Museum Sejarah Jakarta pada tanggal 30 Maret 1974.

Untuk meningkatkan kinerja dan penampilannya, Museum Sejarah Jakarta sejak tahun 1999 bertekad menjadikan museum ini bukan sekedar tempat untuk merawat, memamerkan benda yang berasal dari periode Batavia, tetapi juga harus bisa menjadi tempat bagi semua orang baik bangsa Indonesia maupun asing, anak-anak, orang dewasa bahkan bagi penyandang cacat untuk menambah pengetahuan dan pengalaman serta dapat dinikmati sebagai tempat rekreasi. Untuk itu Museum Sejarah Jakarta berusaha menyediakan informasi mengenai perjalanan panjang sejarah kota Jakarta, sejak masa prasejarah hingga masa kini dalam bentuk yang lebih rekreatif.


Sejarah Gedung Fatahillah

Gedung Museum Sejarah Jakarta mulai dibangun pada tahun 1620 oleh ‘'’Gubernur Jendral Jan Pieterszoon Coen”’ sebagai gedung balaikota ke dua pada tahun 1626 (balaikota pertama dibangun pada tahun 1620 di dekat Kalibesar Timur). Menurut catatan sejarah, gedung ini hanya bertingkat satu dan pembangunan tingkat kedua dibangun kemudian hari. Tahun 1648 kondisi gedung sangat buruk. Tanah Jakarta yang sangat labil dan beratnya gedung menyebabkan bangunan ini turun dari permukaan tanah.

Solusi mudah yang dilakukan oleh pemerintah Belanda adalah tidak mengubah pondasi yang sudah ada, tetapi lantai dinaikkan sekitar 2 kaki, yaitu 56 cm. Menurut suatu laporan 5 buah sel yang berada di bawah gedung dibangun pada tahun 1649. Tahun 1665 gedung utama diperlebar dengan menambah masing-masing satu ruangan di bagian Barat dan Timur. Setelah itu beberapa perbaikan dan perubahan di gedung stadhuis dan penjara-penjaranya terus dilakukan hingga bentuk yang kita lihat sekarang ini.


Museum Fatahillah Tempo dulu


Seperti umumnya di Eropa, gedung balaikota dilengkapi dengan lapangan yang dinamakan ‘’stadhuisplein'’. Menurut sebuah lukisan uang dibuat oleh pegawai VOC ‘'’Johannes Rach”’ yang berasal dari ‘'’Denmark”’, di tengah lapangan tersebut terdapat sebuah air mancur yang merupakan satu-satunya sumber air bagi masyarakat setempat. Air itu berasal dari Pancoran Glodok yang dihubungkan dengan pipa menuju stadhuiplein. Pada tahun 1972, diadakan penggalian terhadap lapangan tersebut dan ditemukan pondasi air mancur lengkap dengan pipa-pipanya.


Maka dengan bukti sejarah itu dapat dibangun kembali sesuai gambar Johannes Rach, lalu terciptalah air mancur di tengah Taman Fatahillah. Pada tahun 1973 Pemda DKI Jakarta memfungsikan kembali taman tersebut dengan memberi nama baru yaitu ‘'’Taman Fatahillah”’ untuk mengenang panglima Fatahillah pendiri kota Jakarta.

Bangunan Cagar Budaya

Posted by Welcome To My Blogger on , under | komentar (0)



TUGAS 3
BANGUNAN CAGAR BUDAYA
ARSITEKTUR

PENGERTIAN BANGUNAN CAGAR BUDAYA :

Menurut UU no. 5 tahun 1992 tentang Benda Cagar Budaya, yang dimaksud dengan benda cagar budaya adalah : (dalam Bab 1 pasal 1)
  1. Benda buatan manusia, bergerak atau tidak bergerak, yang berupa kesatuan atau kelompok, atau bagian-bagian atau sisa-sisanya, yang berumur sekurang-kurangnya 50 tahun atau mewakili masa gaya yang khas dan mewakili masa gaya sekurang-kurangnya 50 tahun , serta dianggap mempunyai nilai penting bagi sejarah, ilmu pengetahuan, dan kebudayaan;
  2. Benda alam yang dianggap mempunyai nilai penting bagi sejarah, ilmu pengetahuan, dan kebudayaan.
Jadi, Bangunan Cagar Budaya sendiri dapat memiliki arti sebagai suatu bangunan yang berupa kesatuan atau kelompok yang dianggap memiliki nilai penting bagi sejarah, ilmu pengetahuan, maupun kebudayaan.

Kriteria, Tolok Ukur, dan Penggolongan benda cagar budaya

Berdasarkan Peraturan Daerah DKI Jakarta no 9 tahun 1999 bab IV, dijabarkan tolok ukur kriteria sebuah bangunan cagar budaya adalah:

  1. Tolok ukur nilai sejarah dikaitkan dengan peristiwa-peristiwa perjuangan, ketokohan, politik, sosial, budaya yang menjadi symbol nilai kesejarahan pada tingkat nasional dan atau Daerah Khusus Ibukota Jakarta.
  2. Tolok ukur umur dikaitkan dengan usia sekurang-kurangnya 50 tahun.
  3. Tolok ukur keaslian dikaitkan dengan keutuhan baik sarana dan prasarana lingkungan maupun struktur, material, tapak bangunan dan bangunan di dalamnya.
  4. Tolok ukur tengeran atau landmark dikaitkan dengan keberadaaan sebuah bangunan tunggal monument atau bentang alam yang dijadikan symbol dan wakil dari suatu lingkungan sehingga merupakan tanda atau tengeran lingkungan tersebut.
  5. Tolok ukur arsitektur dikaitkan dengan estetika dan rancangan yang menggambarkan suatu zaman dan gaya tertentu.

Dari kriteria dan tolok ukur di atas lingkungan cagar budaya diklasifikasikan dalam 3 golongan, yakni:

  1. Golongan I: lingkungan yang memenuhi seluruh kriteria, termasuk yang mengalami sedikit perubahan tetapi masih memiliki tingkat keaslian yang utuh.
  2. Golongan II: lingkungan yang hanya memenuhi 3 kriteria, telah mengalami perubahan namun masih memiliki beberapa unsur keaslian.
  3. Golongan III: lingkungan yang hanya memenuhi 3 kriteria, yang telah banyak perubahan dan kurang mempunyai keaslian.

Bangunan cagar budaya sendiri dibagi dalam 3 golongan, yaitu:

  1. Bangunan cagar budaya Golongan A: bangunan yang memenuhi kriteria nilai sejarah dan keaslian
  2. Bangunan cagar budaya Golongan B: bangunan yang memenuhi kriteria keaslian, kelangkaan, landmark, arsitektur, dan umur.
  3. Bangunan cagar budaya Golongan C: bangunan yang memenuhi kriteria umur dan arsitektur
Pemugaran Bangunan Cagar Budaya Golongan A

kriteria pemugaran bangunan cagar budaya golongan A dikategorikan sebagai berikut :
1. Bangunan dilarang dibongkar dan atau diubah.
2. Apabila kondisi fisik bangunan buruk, roboh, terbakar atau tidak layak tegak dapat dilakukan pembongkaran untuk dibangun kembali sama seperti semula sesuai dengan aslinya.
3.
Pemeliharaan dan perawatan bangunan harus menggunakan bahan yang sama/sejenis atau memiliki karakter yang sama, dengan mempertahankan detail ornamen bangunan yang telah ada.
4.
Dalam upaya revitalisasi dimungkinkan adanya penyesuaian/perubahan fungsi sesuai rencana kota yang berlaku tanpa mengubah bentuk bangunan aslinya.
5.
Di dalam persil atau lahan bangunan cagar budaya dimungkinkan adanya bangunan tambahan yang menjadi satu kesatuan yang utuh dengan bangunan utama.

Contoh : (Gedung Joang '45)

(Gedung Joang '45)

Gedung Joang '45 atau Museum Joang 45 adalah salah satu museum yang berada di Jakarta Saat ini pengelolaannya dilaksanakan oleh Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Provinsi DKI Jakarta. Museum ini terletak di Jalan Menteng Raya 31, Kelurahan Kebon Sirih, Kecamatan Menteng, Jakarta Pusat. Museum ini diresmikan pada tahun 1974 oleh Presiden Soeharto, setelah dilakukan direnovasi.

Gedung yang dibangun pada sekitar tahun 1920-an yang saat ini dipergunakan sebagai Museum Joang 45 ini pada mulanya adalah hotel yang dikelola oleh keluarga “L.C. Schomper”, seorang berkebangsaan Belanda yang sudah lama tinggal di Batavia. Hotel ini diberi nama Schomper sesuai nama pemiliknya. Hotel tersebut saat itu termasuk yang cukup baik dan terkenal di kawasan pinggiran Selatan Batavia, dengan bangunan utama yang berdiri megah di tengah dan diapit deretan bangunan kamar-kamar penginapan di sisi kiri dan kanannya untuk menginap para tamu.

Bangunan kamar penginapan yang tersisa saat ini tinggal beberapa yang ada di sisi utara gedung utama, saat ini dipergunakan sebagai ruang perpustakaan, ruang kreativitas anak (children room)dan kantor Wirawati Catur Panca.

Ketika Jepang masuk ke Indonesia (1942-1945) dan menguasai Batavia, hotel tersebut diambil alih oleh para pemuda Indonesia dan beralih fungsi sebagai kantor yang dikelola Ganseikanbu Sendenbu (Jawatan Propaganda Jepang) yang dikepalai oleh seorang Jepang, “Simizu”. Di kantor inilah kemudian diadakan program pendidikan politik yang dimulai pada tahun 1942 untuk mendidik pemuda-pemuda Indonesia dan dibiayai sepenuhnya oleh pemerintah Jepang.

Pemugaran Bangunan Cagar Budaya Golongan B

kriteria pemugaran bangunan cagar budaya golongan B dikategorikan sebagai berikut :

1. Bangunan dilarang dibongkar secara sengaja, dan apabila kondisi fisik bangunan buruk, roboh, terbakar atau tidak layak tegak dapat dilakukan pembongkaran untuk dibangun kembali sama seperti semula sesuai dengan aslinya.

2. Pemeliharan dan perawatan bangunan harus dilakukan tanpa mengubah pola tampak depan, atap, dan warna, serta dengan mempertahankan detail dan ornament bangunan yang penting.

3. Dalam upaya rehabilitasi dan revitalisasi dimungkinkan adanya perubahan tata ruang dalam asalkan tidak mengubah struktur utama bangunan

4. Di dalam persil atau lahan bangunan cagar budaya dimungkinkan adanya bangunan tambahan yang menjadi satu kesatuan yang utuh dengan bangunan utama.

Contoh : MAKAM RAJA PASER

(makam raja paser)

terletak Sekitar 1 Km sebelah selatan Museum Sadurengas. Di dalam kompleks ini dapat ditemukan makam raja-raja dari Kerajaan Sadurengas. Disekitar kompleks pemakaman terdapat sebuah batu yang oleh masyarakat setempat disebut ?Batu Kilan?. Batu ini sering dijadikan media oleh para pengunjung untuk mengetahui nasibnya. Konon, apabila sebatang lidi dengan ukuran sekilan yang ditancapkan diatas batu ini mengalami penambahan panjang maka apa yang diniatkan orang tersebut akan terkabul tetapi apabila lidi itu berubah menjadi lebih pendek dari ukuran semula maka apa yang diniatkan orang itu tidak akan terkabul.

Pemugaran Bangunan Cagar Budaya Golongan C

kriteria pemugaran bangunan cagar budaya golongan C dikategorikan sebagai berikut :

1. Perubahan bangunan dapat dilakukan dengan tetap mempertahankan pola tampak muka, arsitektur utama dan bentuk atap bangunan.

2. Detail ornamen dan bahan bangunan disesuaikan dengan arsitektur bangunan disekitarnya dalam keserasian lingkungan.

3. Penambahan Bangunan di dalam perpetakan atau persil hanya dapat dilakukan di belakang bangunan cagar budaya yang harus sesuai dengan arsitektur bangunan cagar budaya dalam keserasian lingkungan.

4. Fungsi bangunan dapat diubah sesuai dengan rencana kota.

Contoh : (Budha Bar)

(Budha Bar)

Gedung yang berada di Jalan Teuku Umar Nomor 1, Jakarta Pusat

Buddha Bar yang berdiri di atas gedung yang dibangun pada tahun 1913. Gedung ini dulunya merupakan kantor Dewan Kesenian Jakarta dengan nama Bataviasche Kunstkring. Sedangkan Buddha Bar merupakan franchise waralaba Perancis, dengan pemegang lisensinya PT Nireta Vista Creative.

Kehadiran Buddha Bar dua tahun lalu sempat mengundang protes kalangan umat Buddha. Pasalnya, penggunaan nama dan patung serta ornamen Buddha di tempat hiburan dianggap sebagai penistaan. Selain itu, penggunaan bekas kantor Imigrasi Belanda tersebut dipandang dapat merusak salah satu bangunan cagar budaya DKI.

Perubahan Kepemilikan gedung bersejarah yang dipakai menjadi restoran dan bar Budha Bar, dari tahun ke tahun:

  • 1914-1942, bangunan galeri seni pemerintah Belanda.
  • 1942-1945, di bawah pendudukan Jepang, gedung ini menjadi markas besar Madjelis A'la Islam.
  • 1950 hingga 1997, berfungsi sebagai kantor imigrasi Jakarta Pusat.
  • 1998 hingga 2002, milik PT Mandala Griya Cipta, perusahaan yang dimiliki anak mantan presiden Soeharto, Hutomo Mandala Putra.
  • Dari tahun 2002, bangunan milik Dewan Museum dan Sejarah Jakarta.
  • Dari 2008 sampai sekarang, bangunan milik Buddha Bar. (cky/elfath)